DPR Cecar Sri Mulyani: Efisiensi Gagal, Utang Negara Makin Bertambah

Jul 2, 2025 - 00:34
 0  61
DPR Cecar Sri Mulyani: Efisiensi Gagal, Utang Negara Makin Bertambah
Foto: Sri Mulyani saat rapat di Dpr ri. (Tangkapan layar TV Parlemen)

RAHMADNEWS.COM | JAKARTA – Rapat kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memanas. Sejumlah anggota Banggar mempertanyakan efektivitas efisiensi anggaran yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, menyusul proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang justru membengkak.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie Othniel Frederic Palit, menjadi salah satu yang paling vokal. Ia menyayangkan bahwa efisiensi anggaran yang seharusnya menyelamatkan keuangan negara, justru tak berhasil meredam lonjakan defisit.

“Kenapa tidak jadi dihemat malah utangnya nambah, minta izin lagi gunakan SAL. Ini narasinya belum jelas,” tegas Dolfie kepada Sri Mulyani dalam rapat di Gedung Parlemen, Selasa (1/7/2025).

Sebagaimana diketahui, efisiensi anggaran sebesar Rp 306,7 triliun yang dicanangkan lewat Inpres 1/2025 tidak cukup untuk menghalau pembengkakan defisit. Menteri Keuangan memperkirakan defisit APBN 2025 mencapai Rp 662 triliun atau 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih tinggi dari target sebelumnya sebesar Rp 616,2 triliun (2,53% dari PDB).

Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani juga mengajukan permohonan penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) tahun 2024 sebesar Rp 85,6 triliun dari total SAL Rp 457,5 triliun, guna menutup kebutuhan pembiayaan.

Dolfie juga menyoroti kebijakan pemerintah yang membuka blokir anggaran efisiensi senilai Rp 134,9 triliun tanpa meminta persetujuan DPR. Ia menilai langkah itu menyalahi semangat efisiensi yang diamanatkan oleh UU APBN.

“Dasarnya apa? Saat minta efisiensi, pemerintah datang ke DPR minta persetujuan, tentu kami sambut baik karena itu amanat undang-undang. Tapi kalau blokir dibuka sepihak, apa landasan hukumnya? Inpres tidak mencantumkan ketentuan buka blokir,” katanya.

Menanggapi kritik tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa kondisi APBN 2025 jauh lebih kompleks daripada sekadar angka penghematan. Ia menyebut tekanan berat datang dari sisi penerimaan negara yang tidak tercapai, sekaligus kebutuhan belanja yang tetap tinggi.

Sri Mulyani menyampaikan, target penerimaan negara sebesar Rp 3.005,1 triliun kemungkinan hanya terealisasi Rp 2.865,5 triliun. Penyebabnya antara lain batalnya pemberlakuan PPN 12% secara umum serta pencabutan kontribusi dividen BUMN ke pos PNBP, yang kini seluruhnya dialihkan ke Dana Nusantara (Danantara).

“Dua hal ini saja sudah mengurangi potensi penerimaan Rp 150 triliun. Belum lagi restitusi pajak, penurunan harga komoditas seperti batu bara, serta dampak Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),” jelas Sri Mulyani.

Sementara itu, di sisi belanja, pemerintah harus menyesuaikan dengan program prioritas Presiden Prabowo Subianto, yang dinilai tak bisa ditunda. Menkeu memperkirakan belanja negara 2025 akan mencapai Rp 3.527,5 triliun, sedikit di bawah target APBN sebesar Rp 3.621,3 triliun.

“Kalau tidak efisiensi, padahal presiden punya program prioritas, defisit bisa lebih tinggi dari ini,” kata Sri Mulyani.

Terkait kebijakan pembukaan blokir anggaran, Sri Mulyani menegaskan bahwa mekanisme tersebut sudah diatur dalam UU APBN 2024, tepatnya pada Pasal 20 ayat 1 huruf H, yang memberikan fleksibilitas anggaran berdasarkan kebutuhan strategis yang diarahkan langsung oleh presiden.

“Ini bukan keputusan pribadi saya. Buka blokir dilakukan lewat rapat terbatas (ratas) yang dipimpin Presiden, dengan notulensi resmi. Saya sendiri tidak punya kewenangan membuka blokir tanpa arahan itu,” tegas Sri Mulyani.

Ia mencontohkan, kebutuhan belanja untuk sektor koperasi, perumahan, maupun MBG (Makan Bergizi Gratis) diputuskan dalam forum ratas dan baru kemudian diimplementasikan oleh Kementerian Keuangan.

“Dari sisi kekuatan hukum, sama antara Inpres yang bersifat umum dan keputusan presiden di ratas. Kami jalankan sesuai arahan,” pungkasnya.

Perdebatan antara DPR dan pemerintah mengenai efisiensi dan penggunaan anggaran menunjukkan bahwa tata kelola fiskal Indonesia memasuki masa krusial. Pemerintah diharapkan lebih transparan dan akuntabel, sementara DPR perlu terus memainkan peran pengawasan secara objektif dan konstruktif demi menjaga kredibilitas APBN.**

Editor  :  Ricky Sambari

(Redaksi/RH) 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow